TfYpGSdiGSG6TUC6GSroTpOoGi==
Light Dark
Buruknya Tata Kelola Lingkungan Hidup di Kawasan Hutan, Sebabkan Banjir Bandang

Buruknya Tata Kelola Lingkungan Hidup di Kawasan Hutan, Sebabkan Banjir Bandang

×
Buruknya Tata Kelola Lingkungan Hidup di Kawasan Hutan, Sebabkan Banjir Bandang  
OPINI.GIPSI (Senin: 3/Februari/2025) Baru-baru ini Viral di pemberitaan media massa dan media sosial beredar video mengenai banjir bandang menerpa Pantura Situbondo, mulai dari kecamatan melandingan sampai kecamatan Penarukan dan kendit, kabupaten Situbondo. Sebelumnya, banjir juga terjadi di Bondowoso. Di saat yang hampir bersamaan, banjir bandang juga melanda kabupaten Jember Jawa Timur, luapan air bah dengan membawa sejumlah material ranting dan kayu, seakan menggambarkan betapa buruknya ekologi di hulu kawasan hutan negara sudah tak memberi jaminan keselamatan bagi masyarakat di hilir.

Bencana ekologi kini seakan menjadi bagian dari keseharian kita. Banjir bandang, tanah longsor, pencemaran air dan udara sering terjadi di negeri ini. Tak terhitung banyaknya jumlah korban yang berjatuhan akibat bencana ekologi itu.

Maraknya bencana ekologi ini tak bisa dilepaskan dari krisis iklim. Pemberi kebijakan lebih mementingkan keuntungan ekonomi daripada keselamatan rakyat secara global. krisis iklim kini makin cepat. Kehidupan di bumi benar-benar dalam bahaya. Bencana ekologi akan datang lebih sering dan dalam skala yang masif.

Bencana ekologi tidak hanya disebabkan oleh krisis iklim. Bencana ekologi itu disebabkan oleh perpaduan sempurna antara krisis iklim dan buruknya tata kelola lingkungan hidup dan kondisi hutan negara. Banjir di Situbondo dan Bondowoso tidak bisa dilepaskan dari hancurnya daya dukung ekologi dari hulu.

Hancurnya daya dukung ekologi itu adalah dampak dari kebijakan kebijakan kerjasama masyarakat dan pemangku pengelola hutan negara, yang sudah bertahun-tahun berjalan. Banjir di Situbondo dan Bondowoso tidak bisa dilepaskan oleh maraknya alih fungsi kawasan hutan lindung, menjadi kawasan perkebunan dan pertanian. Hilangnya resapan air ini akan memperbesar volume air larian (run off). Semakin besar volume air larian, akan semakin memperbesar kerentanan dari banjir.

Data dari pegiat lingkungan hidup Gerakan Independen Peduli Sumber Daya Alam Indonesia (GIPSI) menyebutkan, bahwa menyusutnya daerah resapan air, di kawasan hulu, Hutan lindung lestari, maupun ruang terbuka hijau, di hilir seperti desa pemukiman penduduk dan perkotaan, oleh aktivitas pembangunan telah menyebabkan genangan air yang tak terserap dengan sempurna kedalam tanah. 

Pengalihfungsian kawasan hutan lindung menjadi kawasan perkebunan, produk hasil kerjasama pihak pemangku kebijakan hutan negara dan masyarakat pinggiran hutan serta pengusaha, adalah salah satu penyebab terjadinya banjir disaat musim hujan tiba, hutan lindung sudah tak bisa menjadi pelindung.

Kehancuran alam yang menyebabkan bencana ekologi tidak hanya terjadi di dua kabupaten Situbondo dan Bondowoso, banyak daerah daerah kabupaten lain yang ekologi buruk, seperti wilayah Malang Raya dan Lumajang, Probolinggo, Pasuruan menjadi langganan bencana alam berupa banjir bandang dan tanah longsor. 

Meningkatnya bencana ekologi salah satunya disebabkan karena laju deforestasi di Indonesia mencapai 750.00 hektar per tahun. Namun, kemampuan pemerintah rehabilitasi hutan dan lahan hanya 250.000 hektar per tahun hingga ada kesenjangan angka 500.000 hektar per tahun, yang terus berlipat setiap tahun. Buruknya Tata Kelola Lingkungan Hidup dan Kawasan Hutan, Sebabkan Banjir Bandang
(Data dari Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Ditjen PKTL KLHK)

Menurut data GIPSI sebuah organisasi lingkungan hidup yang peduli terhadap hutan lindung di wilayah Jawa Timur, kehancuran hutan khususnya hutan lindung sudah tak lagi menjadi jaminan keamanan bagi masyarakat yang bermukim di wilayah hilir khususnya yang dekat dengan bantaran sungai.

Akibat kebijakan yang tidak terkontrol, masyarakat yang menguasai lahan hutan lindung bukan lagi sebagai pemanfaatan kawasan hutan untuk menjaga ekologi demi keselamatan bersama, tapi sudah menguasai dan bahkan memiliki kawasan hutan demi ambisinya, tanpa peduli terhadap keselamatan lainnya. Namun pemberi kebijakan terkesan pembiaran dan justru terus mendorong dan membuka lebih luas demi sebuah pendapatan yang lebih besar. Ini sebuah skala penghancuran alam yang sangat masif.

Jadi sudah sejak lama pemangku kebijakan seperti pemerintah dan pengelola hutan negara tutup mata dalam tata kelola lingkungan hidup dan Kehutanan. Buruknya tata kelola lingkungan hidup dan Kehutanan yang sudah terjadi sejak lama itu kini berpadu dengan krisis iklim global. Akibatnya sudah bisa ditebak, sebuah bencana ekologi terjadi dengan tak terkendali.

Saat ini kita hidup di tengah buruknya tata kelola lingkungan hidup dan krisis iklim itu. Tentu kita tidak bisa berdiam diri. Sebagai warga negara dan juga pembayar pajak kita harus senantiasa mendesak para pemegang kebijakan di negeri ini untuk segera membenahi tata kelola lingkungan hidup yang carut marut. 

Kita harus menyuarakan ke para pemegang kebijakan itu bahwa, kita penduduk bumi benar-benar makin terbatas untuk mengatasi krisis iklim. Tanpa pembenahan tata kelola lingkungan hidup kembalikan kawasan hutan sebagai pelindung  dari bencana ekologi yang akan menimpa kita semua dengan skala yang masif dan mematikan. 
Mari kita sama-sama sadar diri, bahwa kehidupan ini bukan hanya untuk keuntungan pribadi kita, di luar sana masih ada saudara kita yang butuh perlindungan dan kehidupan aman dari bencana alam dampak dari kerakusan segelintir manusia.

Penulis: Ari Syamsul Arifin.
Jurnalis dan pegiat lingkungan hidup.

0Komentar

SPONSOR