Abaikan Laporan Masyarakat, APH Polri dan Gakkum KLHK 'Perusakan Hutan Lindung' Petak 7 di Laporkan Ke Propam Polri
BONDOWOSO.XPOSENEWS.COM - Kasus perusakan dan perambahan kawasan hutan lindung petak 7 desa Penang kecamatan Botolinggo kabupaten Bondowoso Jawa timur, kembali mendapat sorotan kelompok masyarakat Gerakan Independen peduli sumber daya alam Indonesia (GIPSI)
Menurut Pasal 71 ayat (1) UU Kehutanan terdapat hak masyarakat untuk melaporkan kerusakan hutan sebagai berikut:
Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan/atau melaporkan ke penegak hukum terhadap kerusakan hutan yang merugikan kehidupan masyarakat.
Kemudian, penting untuk diketahui bahwa dalam Pasal 81 ayat (1) UU 18/2013, masyarakat sebagai pelapor dapat memperoleh perlindungan hukum.
Perambahan dan ilegal logging di kawasan petak 7 hutan lindung Rimba Alam, sebelumnya telah di laporkan oleh kelompok masyarakat pegiat lingkungan hidup dan Kehutanan ke Polres Bondowoso dan di lakukan periksaan keterangan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) namun setelahnya tidak pernah ada kelanjutan hasil dari laporan tersebut walaupun sudah menerima SP2HP, surat laporan tersebut juga di laporkan ke Ditjen Penegakan hukum khusus kehutanan (GAKKUM KLHK) Tim Gakkum KLHK Jatim juga melakukan penyelidikan ke lokasi petak yang diduga ada kegiatan perambahan dan pengrusakan hutan lindung petak 7 Rimba Alam, setelah melakukan olah Tempat kejadian perkara (TKP) di temukan sebuah pondok yang terbuat dari material papan dan balok kayu didalam kawasan hutan milik salah satu pelaku.
Kemudian pihak GAKKUM KLHK Jabal Nusra bukannya melakukan penindakan hukum terhadap pelaku dan mengamankan barang bukti yang ada, justru pihak GAKKUM KLHK bersama sama petugas dari Perhutani BKPH Prajekan dan Waka ADM Bondowoso Utara menyuruh pelaku untuk membakar pondok dan balok balok kayu dari hasil penebangan di kawasan hutan tersebut dan tidak ada penindakan apapun.
Pihak pelaku yang diduga sebagai perambah perusak kawasan hutan lindung petak 7 akibat pembiaran tanpa ada penindakan hukum, saat ini lebih leluasa dan bebas untuk melakukan penguasaan kawasan hutan lindung mengelola ladang tanaman kopi.
"Adanya pembiaran dan tidak adanya penindakan hukum kepada pelaku perusak hutan lindung, ini seakan - akan telah memberikan kekebalan hukum kepada para pelaku perusak hutan,
sedangkan APH Polri dan penyidik PPNS GAKKUM KLHK Jabal Nusra yang awalnya tegas, namun abai terhadap penegakan hukum, terhadap pelaku yang nyata- nyata telah mengakui atas perbuatannya saat dilakukan gelar perkara olah Tempat Kejadian Perkara (TKP) di petak 7 kawasan hutan lindung" terang Edi Siroto mewakili GIPSI. Selasa (25/2025)
Padahal dalam Pasal 10 Undang- undang No 18 tahun 2013 Perkara perusakan hutan harus didahulukan dari perkara lain untuk diajukan ke sidang pengadilan guna penyelesaian secepatnya.
Pembiaran kasus perambahan di hutan lindung oleh pihak APH Polri dan Gakkum KLHK Jabal Nusra. Tidak adanya kepastian penegakan hukum terhadap pelaku.
GIPSI melakukan pengaduan dan pelaporan ke divisi Propam polri di tujukan langsung kepada Kadiv Propam Irjen Pol Abdul Karim dan Bapak Kapolri guna dilakukan penegakkan disiplin, etika, dan integritas anggota Polri dan meminta pertanggung jawaban APH Polri yang diduga tidak melaksanakan kewajibannya sebagai penyidik APH yang menangani kasus tersebut.
Susuai dengan dasar hukum Propam Polri Berbagai peraturan Kapolri, untuk diperiksa sesuai aturan dan Undang-undang yang berlaku. Baik kepada APH Polri polres Bondowoso dan Gakkum KLHK Jawa timur.
Kajian GIPSI terkait Pengrusakan hutan lindung dan alih fungsi menjadi perkebunan kopi adalah Kejahatan kehutanan yang terstruktur dan masif. Khususnya kasus di kawasan petak 7 hutan lindung Rimba Alam ini juga tidak terlepas dari tanggung Jawab Korporasi membiarkan pelaku perambah hutan membuka kawasan hutan lindung untuk ladang perkebunan kopi. kawasan hutan negara wilayah pangkuan KRPH Prajekan, BKPH Prajekan KPH Bondowoso Divre Jawa Timur.
Definisi korporasi tersebut sejalan dengan Pasal 37 angka 1 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 1 angka 22 UU P3H, yang menyatakan bahwa korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik berupa badan hukum maupun bukan badan hukum.
Sedangkan korporasi itu sendiri juga termasuk dalam kategori “setiap orang”, sebagaimana diatur dalam Pasal 37 angka 1 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 1 angka 21 UU P3H.
Maka korporasi bisa dimintakan pertanggungjawaban terhadap perusakan hutan. Adapun yang dimaksud dengan perusakan hutan adalah proses, cara, atau perbuatan merusak hutan melalui kegiatan pembalakan liar, penggunaan kawasan hutan tanpa perizinan berusaha atau penggunaan perizinan berusaha yang bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian perizinan berusaha di dalam kawasan hutan yang telah ditetapkan, yang telah ditunjuk, ataupun yang sedang diproses penetapannya oleh pemerintah pusat.
Hal tersebut juga terlihat dari sejumlah aturan larangan perusakan hutan yang terdapat ancaman pidananya bagi korporasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 37 angka 3 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 12 UU P3H bahwa setiap orang dilarang:
Diantaranya, melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan perizinan berusaha terkait pemanfaatan hutan;
melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki perizinan berusaha dari pemerintah pusat;
melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah.
Penarikan pungutan sharing profit terhadap hasil panen kopi dan pertanian masyarakat yang memanfaatkan kawasan hutan lindung negara oleh pihak Perhutani patut di pertanyakan.
Kawasan hutan yang mempunyai fungsi perlindungan lingkungan adalah kawasan hutan konservasi dan hutan lindung. Sedangkan kawasan hutan yang mempunyai fungsi ekonomi adalah hutan produksi.
Dalam undang-undang (UU) tata ruang no. 26/2007, kawasan hutan konservasi dan hutan lindung masuk dalam katagori kawasan lindung yang berfungsi untuk melindungi lingkungan di daerah sekitar dan dibawahnya.
Rehabilitasi hutan diselenggarakan antara lain melalui kegiatan reboisasi intensif atau agroforestri. Reboisasi agroforestri dilakukan pada lahan kritis dengan tutupan lahan terbuka, semak belukar, kebun, kebun campuran, pertanian lahan kering dan terdapat aktivitas pertanian masyarakat.
Menteri LHK Siti Nurbaya (waktu itu) mengeluarkan peraturan menteri LHK P.24/2020 yang membolehkan food estate dalam hutan lindung, dengan alasan dengan food estate akan memulihkan hutan dengan pola kombinasi tanaman hutan dengan tanaman pangan, ternak dan perikanan (pola agroforestry, silvipasture, wanamina). Tanaman hutan dengan berbagai kombinasi itu akan memperbaiki fungsi hutan lindung. Padahal, kegiatan food estate dalam hutan lindung akan melegalkan perambahan hutan dalam kawasan hutan lindung yang selama ini memang telah marak terjadi.
Secara garis besarnya kawasan hutan lindung yang bisa di kerjasamakan adalah kawasan hutan kritis minus ekologi, sedang kawasan hutan lindung di wilayah Rimba Alam Bondowoso, adalah kawasan hutan lindung yang lengkap dengan flora dan faunanya serta kawasan hutan tropis lestari. Namun akibat kebijakan hukum aturan Abu - abu yang menunggangi Permen KLHK P.24/2020 tentang Food estate Hutan lindung Bondowoso yang awalnya lestari menjadi hancur. Penebangan pohon secara liar dikawasan hutan lindung Rimba Alam dan merubah kawasan lindung menjadi lahan pertanian dan perkebunan kopi serta sayur mayur mengancam terhadap ekologi kawasan hutan lindung negara. Pengelola kawasan hutan mementingkan Ekonomi daripada Ekologi, Ribuan hektar kawasan hutan lindung sudah alih fungsi dan mengancam terhadap ke seimbangan alam dan lingkungan hidup.
"Bagaimana pungutan itu menjadi Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) Kalau prosesnya saja sudah Ilegal." GIPSI
(Ari-red)
0Komentar