Oleh Kreator: Marius Gunawan
Satgas Garuda PKH (Penertiban Kawasan Hutan) telah dibentuk pemerintah sebagai solusi untuk menyelesaikan permasalahan konversi dan deforestasi akibat perkebunan kelapa sawit ilegal. Satgas ini bertugas mengidentifikasi dan menertibkan perkebunan sawit yang beroperasi secara ilegal di kawasan hutan, dan kawasan hutan lainnya sebelum menyerahkan lahan tersebut kepada BUMN untuk dikelola.
Namun, kebijakan ini memunculkan berbagai pertanyaan, termasuk tentang definisi 'ilegal' dalam kasus ini. Perkebunan sawit dapat dikategorikan ilegal apabila berada dalam kawasan hutan tanpa izin pelepasan, tidak memiliki izin usaha perkebunan yang sah, atau melanggar tata ruang nasional. Masalah ini bukanlah hal baru puluhan tahun telah berlalu dengan berbagai kebijakan yang belum menghasilkan dampak signifikan.
Kebijakan penyerahan lahan ke BUMN juga menuai perdebatan. Banyak yang mempertanyakan apakah pengelolaan oleh BUMN benar-benar dapat menjawab persoalan deforestasi dan menyelamatkan hutan. Pengelolaan yang buruk berpotensi mengarah pada eksploitasi lahan yang tidak berbeda dengan praktik swasta sebelumnya. Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan lahan ini menjadi kunci agar upaya penyelamatan hutan tidak berujung pada sekadar perubahan pengelola tanpa perubahan nyata dalam praktik keberlanjutan.
Kontroversi Kehadiran TNI dalam Satgas PKH
Salah satu aspek yang menimbulkan polemik adalah keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam operasi Satgas PKH. Pemerintah beralasan bahwa kehadiran TNI diperlukan untuk memperkuat efektivitas penertiban lahan ilegal dan mencegah potensi konflik di lapangan. Dasar hukumnya merujuk pada tugas TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP), yang mencakup bantuan kepada pemerintah dalam menjaga ketertiban.
Namun, banyak pihak mengkhawatirkan pendekatan militeristik dalam penertiban kawasan hutan. Organisasi dan pegiat lingkungan hidup dan kehutanan seperti WALHI dan KontraS dan kelompok masyarakat lainnya yang peduli terhadap kelestarian hutan, menyoroti bahwa kehadiran TNI dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat adat dan lokal yang selama ini tinggal di sekitar hutan. Mereka mempertanyakan apakah pengerahan militer telah mendapat persetujuan DPR, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang TNI. Ada juga kekhawatiran bahwa pendekatan ini bisa mengarah pada tindakan represif terhadap komunitas yang sebenarnya tidak bertanggung jawab atas perambahan hutan besar-besaran.
Untuk menghindari ekses negatif, transparansi dalam operasi Satgas Garuda PKH sangat diperlukan. Pemerintah harus memastikan bahwa pendekatan humanis tetap dikedepankan dalam proses penertiban, dan bahwa masyarakat adat serta komunitas lokal yang terdampak mendapatkan solusi yang adil.
Solusi untuk Menyelamatkan Hutan dan Mengembalikan Kekayaan Negara
Agar tujuan utama penyelamatan hutan tercapai, beberapa langkah perlu diperhatikan:
1. Transparansi dan Akuntabilitas: Pemerintah harus membuka data terkait lahan yang disita, kriteria ilegalitas, serta mekanisme penyerahan ke BUMN.
2. Pendekatan Berbasis Masyarakat: Memberdayakan masyarakat lokal untuk ikut serta dalam pengelolaan lahan yang telah direhabilitasi guna menghindari konflik sosial.
3. Evaluasi Keterlibatan TNI: Jika tetap dilibatkan, pengawasan terhadap operasi militer harus diperketat untuk mencegah penyalahgunaan wewenang.
4. Penguatan Regulasi: Perlu kebijakan yang lebih ketat dalam mencegah ekspansi sawit ilegal sejak awal, dengan sistem pengawasan yang lebih baik.
Keberhasilan Satgas Garuda PKH bergantung pada sejauh mana pemerintah dapat menjalankan program ini dengan prinsip keadilan, keberlanjutan, dan kepentingan masyarakat di atas segalanya.***MG
Dilansir: Kompasiana.com
0Komentar