Membungkus Perambahan Hutan dengan Perjanjian Kerja Sama, Jalan Pintas yang Menginjak Hukum
OPINI -- Perambahan hutan negara adalah tindakan yang secara tegas dikategorikan sebagai kejahatan. Namun kini, kita menyaksikan sebuah fenomena yang cukup mencengangkan sekaligus menyedihkan: perambahan yang sebelumnya dilakukan secara sadis melalui pembakaran, penggundulan, hingga penguasaan sepihak atas kawasan hutan—tiba-tiba dibungkus rapi dalam narasi legalitas melalui Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara pelaku perambah dan Perhutani.
Narasi ini tentu sangat membingungkan sekaligus memprihatinkan. Bagaimana mungkin pelanggaran hukum kehutanan yang nyata-nyata merugikan negara dan lingkungan, kini justru ingin “diselesaikan” dengan mekanisme yang seolah sah secara administratif?
Dari Perambahan Brutal ke Legalitas Semu
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa proses perambahan hutan negara yang terjadi bukanlah tindakan kecil. Banyak di antaranya dilakukan dengan cara membakar lahan, merusak tutupan hutan, dan mengganti ekosistem alami dengan tanaman komoditas ekonomi. Ironisnya, pada saat kejadian berlangsung, tidak ada satu pun pihak yang mampu atau mungkin mau mengungkap siapa pelaku perambahan tersebut.
Anehnya, begitu lahan tersebut mulai berproduksi dan memiliki nilai ekonomi, tiba-tiba muncul proses pendataan, identifikasi, hingga langkah-langkah legalisasi dengan membentuk skema kerja sama. Ini menimbulkan pertanyaan besar: ke mana pengawasan dan penegakan hukum ketika kejahatan perambahan itu terjadi? Dan mengapa baru sekarang muncul niat untuk “mengatur” kawasan yang sebelumnya dikuasai secara ilegal?
Dugaan Pungli dan Penarikan Sharing Profit
Persoalan ini semakin pelik ketika dikaitkan dengan munculnya dugaan praktik pungutan liar (pungli) serta penarikan sharing profit oleh oknum tertentu di kawasan hutan negara. Dugaan ini tak hanya mencoreng nama institusi kehutanan, tetapi juga menunjukkan bagaimana sistem pengelolaan hutan bisa dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
Bila kita tarik garis narasi ke belakang, maka kita bisa melihat bahwa awal mula dari seluruh kekacauan ini adalah pembiaran terhadap tindak pidana perambahan hutan. Ketika tindakan ilegal itu tidak ditindak dengan tegas, maka akan muncul ruang abu-abu yang kemudian diisi oleh aktor-aktor yang mencari keuntungan dengan mengorbankan hukum dan lingkungan.
Dan kini, pembiaran itu sedang coba “dibungkus” dengan narasi kerja sama. Pelaku perambah tidak ditindak, tetapi justru diajak bekerja sama. Ini seperti memberikan hadiah kepada pelaku kejahatan, sekaligus menampar wajah hukum dan keadilan di negeri ini.
Menormalisasi Pelanggaran, Membuka Celah Baru
Jika pola seperti ini dibiarkan, maka yang terjadi adalah normalisasi atas pelanggaran. Masyarakat bisa saja mengambil kesimpulan sederhana: “Merambahlah dulu, nanti kalau sudah jadi, tinggal kerja sama.” Ini tentu sangat berbahaya. Karena bukan hanya memancing lebih banyak perambahan hutan, tetapi juga menciptakan sistem yang tidak adil bagi masyarakat lain yang patuh terhadap aturan.
Lebih jauh, kerja sama yang dibangun di atas pelanggaran hukum juga tidak akan pernah menghasilkan tata kelola yang sehat. Sebab dasar dari sebuah perjanjian yang sah seharusnya adalah niat baik dan kesetaraan posisi. Dalam hal ini, bagaimana mungkin pelaku kejahatan bisa dianggap sebagai mitra setara oleh negara?
Negara Harus Hadir sebagai Penegak Hukum, Bukan Perantara Kepentingan
Negara melalui institusi kehutanan seperti Perhutani seharusnya menjadi pelindung kawasan hutan negara dari segala bentuk ancaman, termasuk perambahan ilegal. Namun jika kini Perhutani justru menjadi fasilitator bagi para perambah untuk mendapatkan “status legal,” maka posisi negara sebagai penegak hukum menjadi dipertanyakan.
Apakah kita sedang menyaksikan transformasi fungsi negara dari pelindung hutan menjadi perantara kepentingan ekonomi sesaat? Bila demikian, maka yang terjadi bukanlah penyelesaian masalah, tetapi pembukaan luka baru yang lebih dalam.
Dalam konteks hukum, perambahan hutan tetaplah tindakan pidana. Tidak ada istilah “kerja sama” yang bisa menghapus jejak kejahatan yang telah terjadi. Maka seharusnya langkah pertama yang dilakukan adalah penegakan hukum terhadap pelaku, bukan memberikan legitimasi atas tindakan mereka.
Menagih Akuntabilitas dan Transparansi
Masyarakat berhak menagih akuntabilitas dan transparansi atas skema-skema kerja sama yang kini sedang dirancang atau bahkan sudah berjalan. Siapa yang menentukan siapa yang berhak diajak kerja sama? Apa indikatornya? Apakah proses ini melibatkan partisipasi publik? Apakah semua pelaku yang dilibatkan sebelumnya telah melalui proses hukum? Dan apakah sharing profit yang terjadi benar-benar untuk negara, atau justru masuk ke kantong-kantong pribadi?
Pertanyaan-pertanyaan ini harus dijawab dengan transparan dan terbuka. Tanpa itu, semua narasi kerja sama hanyalah kedok baru untuk menutupi kejahatan lama. Bahkan bisa dikatakan, ini adalah bentuk kejahatan lanjutan yang dilegalkan atas nama pembangunan atau restorasi.
Pilihan Jalan Hukum dan Keadilan
Sudah saatnya negara mengambil jalan tegas dan bermartabat. Bukan jalan pintas dengan membungkus kejahatan dalam kesepakatan, tetapi jalan hukum yang memberi kepastian dan rasa keadilan. Para pelaku perambahan hutan harus diproses secara hukum. Jika ada potensi pemanfaatan lahan, maka harus melalui proses yang sah dari awal, bukan dengan melegalkan hasil dari kejahatan.
Hutan adalah aset publik, bukan lahan privat yang bisa diklaim dan dikelola semaunya. Masyarakat adat, kelompok tani hutan yang legal, dan komunitas pelestari lingkungan seharusnya mendapat prioritas dalam pengelolaan kawasan, bukan para perambah yang sebelumnya beraksi dalam gelap lalu minta status terang.
Jika hukum tunduk pada kepentingan sesaat, maka masa depan hutan kita tinggal menunggu waktu untuk habis.
Penutup
Perjanjian kerja sama seharusnya menjadi alat untuk memperkuat tata kelola, bukan menjadi kedok untuk melegalkan kejahatan masa lalu. Negara harus hadir bukan hanya sebagai pengatur, tapi juga sebagai penjaga moralitas hukum. Tidak boleh ada kompromi terhadap kejahatan, apalagi jika itu dilakukan atas nama pembangunan atau kolaborasi.
Jika perambahan hutan bisa dibungkus dengan kerja sama, maka ke depan jangan heran jika praktik serupa menjalar ke sektor-sektor lain.
Bukan hanya hutan yang hilang, tetapi juga kepercayaan publik terhadap negara dan supremasi hukum yang ikut terkikis.
Oleh: Edi Siroto, Pegiat Lingkungan Hidup & Hutan Lestari. GIPSI.
0Komentar